KFC Merugi Di Tengah Aksi Boikot, Namun Merk Lokal Tidak Meningkat
Beritadata - PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), perusahaan yang mengelola jaringan restoran waralaba KFC di Indonesia, mengalami rugi bersih sebesar Rp557,08 miliar hingga akhir kuartal III-2024.
Rincian kerugian ini disampaikan dalam laporan keuangan konsolidasi per 30 September 2024 yang dipublikasikan di laman Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Manajemen KFC Indonesia menyebutkan dua faktor utama yang menyebabkan kerugian tersebut. Pertama, kondisi yang belum sepenuhnya pulih, dan kedua, dampak kampanye boikot produk-produk asal Amerika Serikat di Indonesia.
"Kondisi ini mencerminkan efek berkepanjangan dari pemulihan Grup pasca pandemi Covid-19, di mana penjualan belum mencapai target yang diharapkan oleh manajemen, serta tekanan pasar yang semakin berat akibat krisis di Timur Tengah," demikian pernyataan FAST pada Sabtu (9/11) seperti mengutip dari Kompas.
"Kedua hal ini telah mempengaruhi kinerja grup untuk periode sembilan bulan yang berakhir pada 30 September 2024," lanjut FAST.
Kerugian tersebut mendorong perusahaan untuk mengambil langkah penutupan puluhan gerai dan melakukan efisiensi, termasuk pengurangan jumlah karyawan. Menurut laporan yang sama, pada 30 September 2024, KFC Indonesia mengoperasikan 715 gerai di seluruh negeri, turun dari 762 gerai pada Desember 2023. Ini menunjukkan bahwa sepanjang tahun berjalan, KFC Indonesia telah menutup 47 gerai, bersamaan dengan penurunan jumlah karyawan.
Berdasarkan data laporan keuangan, jumlah karyawan KFC Indonesia berkurang dari 15.989 orang per 31 Desember 2023 menjadi 13.715 orang pada 30 September 2024, atau penurunan sebanyak 2.274 orang.
Kerugian Yang Sudah Terjadi Sebelum Kampanye Boikot
Sebagai tambahan, kerugian kuartal III-2024 ini memperpanjang tren kerugian perusahaan selama beberapa tahun terakhir. Berdasarkan Annual Report KFC Indonesia 2023, perusahaan mencatat rugi tahun berjalan sebesar Rp418,21 miliar, sedangkan pada 2022 rugi mencapai Rp77,45 miliar.
KFC Indonesia juga mengalami kerugian signifikan pada 2020 dan 2021, dengan nilai masing-masing Rp300,61 miliar dan Rp377,18 miliar. Artinya, KFC Indonesia sudah mengalami kerugian dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sebelum kampanye boikot yang muncul seiring dengan konflik Palestina pada Oktober 2023.
Penjualan Ayam Goreng Merek Lokal Tidak Mengalami Peningkatan
Konsultan waralaba dari Proverb Consulting, Erwin Halim, mengomentari kondisi bisnis dua jaringan ayam goreng siap saji besar di Indonesia, yaitu PT Fast Food Indonesia Tbk. (FAST) yang menaungi KFC, dan PT Rekso Nasional Food, pemegang lisensi McDonald's, yang sama-sama mengalami kerugian di tengah adanya aksi boikot.
Menurut Erwin, kerugian yang dialami kedua perusahaan ini tidak otomatis mendorong kenaikan penjualan ayam goreng siap saji dari merek lokal seperti Sabana, DBesto, dan DKriuk.
"Kerugian yang disebabkan salah satunya oleh boikot tidak langsung berdampak karena segmen pasar yang ditargetkan oleh KFC dan McDonald's berbeda dengan merek lokal seperti Sabana, DBesto, atau DKriuk," jelas Erwin saat dihubungi Kontan, Jumat (8/11).
Ia menambahkan, boikot ini tidak berarti ada perpindahan signifikan ke merek lokal. Jika ada, jumlahnya pun sangat kecil.
"Penutupan gerai KFC juga tidak serta merta menaikkan popularitas merek lokal, karena ini adalah dua hal yang berbeda," tambahnya.
Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, juga menuturkan bahwa penurunan kinerja FAST, atau KFC, terpengaruh oleh meningkatnya penjualan ayam goreng lokal selama periode boikot.
KFC mencatat kerugian sebesar Rp558,75 miliar per kuartal III 2024, meningkat 266,58% dibandingkan kerugian di periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp152,42 miliar. Pendapatan KFC pun turun 22% menjadi Rp3,6 triliun dari Rp4,62 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, Budihardjo menjelaskan bahwa perlambatan kinerja industri sepanjang 2024 juga dipengaruhi oleh situasi politik, seperti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah Serentak.
"Ini mungkin dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti Pilkada serentak pada Desember 2024 dan pelantikan Presiden yang baru selesai Oktober kemarin. Para pelaku bisnis tampaknya menunggu stabilitas, setidaknya sampai pelantikan pada Januari 2025, sebelum melakukan ekspansi. Hal inilah yang turut memperlambat laju industri," jelasnya.
Apa Reaksi Kamu?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow