Air Minum Dalam Kemasan Sebabkan Masyarakat Makin Miskin
Beritadata - Air minum dalam kemasan (AMDK) disebut-sebut menjadi penyebab meningkatnya pengeluaran masyarakat dan berkontribusi pada penurunan taraf hidup masyarakat Indonesia, karena ketergantungan terhadap air minum kemasan, terutama dalam bentuk galon.
Air minum kemasan kini dianggap sebagai kebutuhan esensial untuk memenuhi kebutuhan fisiologis. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun terjadi fluktuasi, persentase rumah tangga yang menggunakan air minum dalam kemasan terus mengalami peningkatan, terutama di kawasan perkotaan. Peningkatan ini didorong oleh kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap kebersihan dan kualitas air minum. Selain itu, data menunjukkan bahwa beberapa provinsi di Indonesia mencatatkan konsumsi air minum dalam kemasan tertinggi.
Pada tahun 2023, DKI Jakarta menjadi yang terdepan dengan 79,39% rumah tangga menggunakan air minum dalam kemasan. Provinsi lainnya seperti Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Utara juga menunjukkan tren serupa.
Faktor utama yang mempengaruhi tingginya konsumsi air minum dalam kemasan di provinsi-provinsi ini adalah akses yang lebih mudah serta kesadaran akan pentingnya air bersih di tengah pesatnya urbanisasi. Berdasarkan data tersebut, jelas terlihat bahwa permintaan akan air minum kemasan tetap tinggi. Sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang ini pun meraup keuntungan besar.
Ketika pengeluaran masyarakat meningkat akibat ketergantungan terhadap air minum kemasan, perusahaan-perusahaan yang memproduksi air minum kemasan, termasuk dalam bentuk galon, justru meraih keuntungan besar karena meningkatnya permintaan. Hal ini menjadi situasi yang cukup ironis.
Terdapat setidaknya tiga perusahaan yang mencetak penjualan dan kinerja saham yang positif, yaitu PT Akasha Wira International Tbk (ADES), PT Sariguna Primatirta Tbk (CLEO), dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR).
Perusahaan Air Kemasan Untung Besar
Diketahui bahwa ADES dan CLEO adalah perusahaan konsumer yang dikenal sebagai produsen air kemasan. Selain itu, MYOR juga memiliki lini bisnis di sektor air minum dalam kemasan, meskipun pangsa pasarnya mungkin tidak sebesar ADES dan CLEO.
Meningkatnya permintaan konsumsi air minum dalam kemasan telah mendorong kinerja keuangan tiga perusahaan tersebut, yaitu ADES, CLEO, dan MYOR, menjadi sangat baik. Mengacu pada laporan keuangan hingga Juni 2024, ADES mencatatkan penjualan di segmen makanan dan minuman mencapai Rp504,57 miliar, mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 32,37% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Sementara itu, CLEO mencatatkan penjualan bersih pada semester pertama 2024 sebesar Rp1,29 triliun, naik 32,88% secara tahunan dari Rp975,67 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan penjualan ini juga meningkatkan keuntungan bersih perusahaan yang tumbuh hampir 75% menjadi Rp220,23 miliar.
Terakhir, pendapatan MYOR dari segmen minuman olahan dalam kemasan mencapai Rp8,38 triliun, meningkat 14,90% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp7,29 triliun. Penjualan yang mengesankan ini membuat MYOR mencatatkan laba bersih sebesar Rp1,72 triliun.
Kontribusi Air Kemasan Terhadap Penurunan Taraf Ekonomi Masyarakat
Penggunaan air kemasan, seperti galon, ternyata berkontribusi terhadap penurunan taraf ekonomi masyarakat Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh ekonom senior Bambang Brodjonegoro.
"Tanpa disadari, kita sudah menguras pendapatan kita secara signifikan dengan gaya hidup yang bergantung pada air galon, air botol, dan sejenisnya," kata Bambang saat di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) pada Jumat, (30/8), mengutip dari CNBC Indonesia.
Mantan Menteri Keuangan tersebut menambahkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi air minum dalam kemasan tidak umum di semua negara. Di negara maju, misalnya, kelas menengah lebih terbiasa meminum air yang disediakan oleh pemerintah di tempat-tempat umum. Dengan adanya fasilitas air minum massal tersebut, masyarakat di negara maju tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli air minum.
"Daya beli kelas menengah di sana tetap terjaga karena mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak hanya untuk air minum," jelasnya.
Namun demikian, Bambang menekankan bahwa kebutuhan akan air minum hanyalah salah satu dari banyak faktor yang menyebabkan kelas menengah mengalami penurunan ekonomi. Menurutnya, penyebab utama penurunan kelas menengah di Indonesia adalah pandemi Covid-19.
"Penyebabnya sangat bervariasi. Jika kita lihat data dari 2019 hingga 2023, faktor utama adalah pandemi Covid," ujar Bambang.
Selama pandemi Covid-19, banyak kelas menengah yang kehilangan pekerjaan, sementara sebagian lainnya mengalami kebangkrutan usaha.
"Jangan lupa, pandemi Covid berlangsung selama dua tahun. Saat itu, banyak kelas menengah yang kehilangan pekerjaan atau bisnisnya berhenti atau bangkrut," tambahnya.
Apa Reaksi Kamu?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow